Selasa, 08 April 2008

Ketika Tentara Mencegat Mahasiswa UI Di Pasar Minggu

Sejak mahasiswa UI yang diorganisir oleh 4 senat fakultas (FS, FISIP, FT dan FE) melakukan aksi pada pertengahan februari 1998. Kampus UI Depok pun setiap harinya dijaga oleh dua truk tentara/brimob. Tentara disiagakan untuk mencegah aksi mahasiswa keluar dari kampus.

Pada bulan Maret 1998, beberapa hari menjelang SU MPR 1998, Senat Mahasiswa Fakultas Sastra UI mengadakan bakti sosial pembagian sembako di daerah Jelambar Jakarta Barat. Mahasiswa yang menyewa truk tronton tentara pun bergerak dari arah Depok menuju Jelambar. Sampai di pasar minggu, sejumlah tentara yang tengah bersiaga di pasar minggu pun mencegat kami. Tentara yag mencegat kami tersebut melarang kami melewati jalan gatot subroto karena khawatir mahasiswa akan “berbelok” berdemonstrasi di depan Gedung MPR/DPR.

Akhirnya, setelah negosiasi yang alot, kami pun diperkenankan ke Jelambar melalui tol, yaitu memutar masuk pintu tol tanjung barat, UKI dan tol dalam kota keluar di pintu tol grogol. Intinya, kemungkinan mahasiswa “berhenti” di DPR/MPR pun diminimalisir. Aku berinisiatif sebagai penunjuk jalan menaiki mobil kijang dengan dikawal 3 tentara bersenjata lengkap. Di dalam mobil, aku mengajak bicara tentara tersebut dan ternyata mereka adalah pasukan dari divisi bukit barisan yang baru seminggu di Jakarta untuk mengamankan Jakarta dari aksi-aksi mahasiswa yang mulai marak.

Aku pun teringat tragedi Tiannanmen di Cina, dimana rezim komunis Cina mendatangkan tentara dari luar Beijing untuk membantai mahasiswa.

Rabu, 12 Maret 2008

Kutempel Sajak “Tukang Rambutan” di Koridor Sastra

Awal Januari 1998, Krisis ekonomi mencapai puncaknya. Rush dimana-mana. Rakyat di kaki-kaki lima menjerit dan selalu bertanya kepadaku ketika mereka tahu aku mahasiswa. “Kapan mahasiswa demo nih, harga-harga naik terus”. Tapi, aksi mahasiswa UI belum bergerak. Aku pun menemukan sebait puisi dari Taufik Ismail tentang aksi mahasiswa 1966.

Aku tersentuh. Fotokopi dan kutempel di koridor sastra….

SEORANG TUKANG RAMBUTAN PADA ISTRINYA

Oleh: Taufiq Ismail

“Tadi siang ada yang mati, Dan yang mengantar banyak sekali
Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu.
Anak-anak sekolahYang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!
Sampai bensin juga turun harganya
Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula
Mereka kehausan dalam panas bukan main
Terbakar muka di atas truk terbuka
Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu
Biarlah sepuluh ikat juga
Memang sudah rezeki mereka
Mereka berteriak-teriak kegirangan dan berebutan
Seperti anak-anak kecil “Hidup tukang rambutan! Hidup tukang rambutan”
Dan menyoraki saya. Betul bu, menyoraki saya
Dan ada yang turun dari truk, bu
Mengejar dan menyalami saya “Hidup pak rambutan!” sorak mereka
Saya dipanggul dan diarak-arak sebentar“Hidup pak rambutan!” sorak mereka
“Terima kasih, pak, terima kasih!
Bapak setuju kami, bukan?”
Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara
“Doakan perjuangan kami, pak,”
Mereka naik truk kembali
Masih meneriakkan terima kasih mereka
“Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!”Saya tersedu, bu.
Saya tersedu
Belum pernah seumur hidup
Orang berterima-kasih begitu jujurnya
Pada orang kecil seperti kita.
1966

L’Histoire se repete. Sejarah pun berulang.

Di tahun 1998, saat kami bergerak dengan ke DPR dari Depok, para tukang korang pun berteriak, “Hidup Reformasi!, Hidup Mahasiswa!”. Bus-bus kota dari terminal Depok pada Senin 19 Mei 1998 tak henti-hentinya masuk ke kampus UI Depok untuk mengangkut ribuan mahasiswa yang akan menduduki DPR. Siapa yang membayar bus-bus itu? Yang jelas, kami, tak sanggup membayarnya…..tapi bus-bus itu terus masuk ke kampus dan mengantar kami ke DPR. Sampai di DPR, kami hanya berucap “Thank you” dan sang supir pun
membalas senyum

Sabtu, 16 Februari 2008

Hariman Siregar

Siapa tak kenal Hariman Siregar. Dialah Ketua Dewan Mahasiswa UI tahun 1974 yang memimpin demonstrasi anti Jepang yang kemudian tercatat dalam sejarah sebagai "Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari)".

Maka, ketika aku sebagai Ketua Departemen Pendidikan Senat Mahasiswa Fakultas Sastra UI ingin menggelar Diskusi Gerakan Mahasiswa di bulan November 1997, maka yang terpikir untuk aku undang adalah Hariman Siregar.

Aku pun coba menghubunginya via telepon, dan ia dengan suara bataknya yang tegas pun mengiyakan permohonanku untuk menjadi pembicara pada diskusi tersebut.

Namun, Pembantu Dekan III FSUI, Mas Susanto Zuhdi saat itu menolak Hariman Siregar. Setelah berdiskusi, aku dan Mas Santo sepakat mengganti Hariman dengan Lukman Hakim, aktivis mahasiswa UI tahun 1978.

Aku pun segera menghubungi Lukman Hakim. Namun ternyata beliau berhalangan pada hari diskusi tersebut. H-1 acara, aku baru menghubungi kembali Mas Santo, memberitahu bahwa Lukman Hakim tidak bisa hadir dan Hariman Siregar tetap jadi pembicara.

Mas Santo yang aku plot menjadi salah satu pembicara pun terpaksa bersanding dengan Hariman Siregar. D-Day, Hariman pun mendominasi diskusi dan beberapa kali "memprovokasi" mahasiswa untuk segera bergerak. Sejumlah aktivis mahasiswa UI dari berbagai fakultas hadir. Diskusi tersebut pun menjadi awal dari serangkaian diskusi pergerakan di tahun 1998 yang berujung pada demonstrasi di bulan februari 1998.

Kamis, 24 Januari 2008

Faturrahman, Pembakar Poster “Orde Baru”


Di awal-awal demo mahasiswa UI di bulan Februari 1998, panitia aksi masih sangat berhati-hati dalam merancang aksi mimbar bebas. Tema yang dirancang belum didesain untuk menyerang langsung Orde Baru, apalagi Soeharto. Di atas panggung mimbar bebas di lapangan parkir Sastra UI seberang Halte Bus Kuning Sastra UI, diadakanlah aksi pertama kalinya. Sederetan skenario pun sudah dirancang. Para ketua senat fakultas akan bergiliran menyampaikan orasi.

Namun, setelah ketua senat ekonomi, Dian Revindo orasi, tiba-tiba sekelompok mahasiswa FE, diantaranya –yang aku kenal- Faturrahman (Akuntansi 95) naik ke atas panggung dan membakar karton putih bertuliskan “Orde Baru”. Jelas, itu di luar skenario! Panitia aksi malamnya pun rapat di tenda yang dijadikan Posko di lapangan parkir sastra dan saling khawatir terhadap aksi pembakaran poster “Orde Baru” tersebut. Tapi, ternyata tidak ada ekses apa-apa. Dan aksi mimbar bebas berikutnya pun semakin berani…

Terimakasih untuk Fatur, Sang Pembakar Poster “Orde Baru”!

“Warna” Politik Mahasiswa UI 1998

Secara “warna politik” gerakan mahasiswa, UI terpecah dua, antara Salemba yang berwarna “hijau” dan Depok yang “pelangi”. “Pelangi” mahasiswa UI di Depok terbagi atas “Hijau” di FMIPA, FKM, Politeknik, Psikologi -dan (kadang-kadang) Hukum. Serta “Merah, Kuning, Ungu dll” di FISIP, Sastra, Ekonomi dan Teknik –dan (kadang-kadang) Hukum.

Mahasiswa “hijau” di UI adalah mahasiswa yang terpengaruh gerakan tarbiyah (Baca: ikhwanul muslimin versi Indonesia, sekarang PKS). Saat itu mereka berkuasa di 7 fakultas, FK, FKG (FIK tahun 1998 belum lahir), FMIPA, FKM, Psikologi, Politeknik dan Sastra. Khusus Sastra, ketua senat mahasiswa fakultas sastra saat itu, Dede Suryadi (Sejarah 93) menjadi ketua senat karena didukung massa tarbiyah. Aku pun bergabung dalam tim sukses kampanye Dede. Tapi, ketika menjabat ketua departemen pendidikan di senat sastra, aku terus “mengawal” Dede untuk bergabung ke KA KBUI (Kesatuan Aksi Keluarga Besar UI) yang dipelopori FISIP.

Walhasil Senat Mahasiswa Fakultas Sastra UI resmi bergabung dalam KA KBUI bersama SMFEUI, SMFTUI, SMFISIP UI dan (kadang-kadang) SMFHUI. Jadilah SM FSUI “semangka” (luarnya hijau dalamnya merah).

SMFSUI harus rapat internal di antara pengurus hariannya (8 ketua departemen dan 2 ketua bidang serta sekum dan bendahara) sebelum memutuskan bergabung atau tidak dengan KA KBUI. Aku berdebat hebat dengan Arsalsjah (Rusia 95), ketua departemen Pengabdian Masyarakat. Arsal yang kader tarbiyah jelas menolak Sastra bergabung dengan KA KBUI. Namun, singkatnya aku menang debat dan berhasil meyakinkan pengurus yang lain pentingnya bergabung dengan KA KBUI untuk melindungi massa Sastra yang ikut demo. Hanya satu syarat yang diajukan teman-teman tarbiyah saat itu (diwakili oleh Lisda Warastuti, Sastra Indonesia 94), aku harus masuk Presidium KA KBUI. Mungkin, Lisda menganggap aku masih bisa dipercaya dan “dipegang” menjaga senat Sastra.

(Presidium KA KBUI dibentuk di awal Maret 2007 sebagai pengambil keputusan tertinggi di KA KBUI. Komposisi setiap senat fakultas adalah: 1. ketua senat fakultas, 2. perwakilan BPM dan 3. perwakilan informal mahasiswa. Untuk senat sastra, komposisinya, 1. Dede Suryadi, 2. Agus Mediarta (Perwakilan BPM) dan 3, aku sendiri (perwakilan informal).

Kenapa Lisda yang akhwat tarbiyah tulen percaya padaku? Jawabnya, mungkin, pertama, aku bekas tarbiyah juga. Kedua, ketika aksi Rapat Akbar Senat Mahasiswa UI yang menghadirkan Amien Rais, akulah yang menjadi Koordinator Fakultas Sastra dalam panitia Rapat Akbar SMFSUI.

Walhasil, UI terbelah dua, KA KBUI yang “pelangi” dan SMUI yang “hijau”.

(Kenapa Senat Mahasiswa Fakultas Hukum bersikap plin-plan. Mungkin, karena ketua umumnya, Mustofa Fakhri/ Topek yang anak Buya Ismail Hasan Metaureum –ketum PPP- jadi sangat hati-hati. Senat Hukum di awal pembentukan KA KBUI, masih mau bergabung, namun di bulan April 1998, Topek lebih nyaman “rapat” di Pusgiwa, secretariat SMUI)

Rama Pratama

Rama Pratama, ia adalah ketua senat mahasiswa UI periode 1997-1998. Aku ketemu dia pertama kali ketika SMUI aksi ke Depdiknas menuntut pembatalan SK Mendiknas yang memberhentikan Sri Bintang Pamungkas dari dosen UI.

Waktu itu, Rama belum menjadi ketua SMUI, dia masih menjabat ketua FSI (Forum Studi Islam FEUI). Pada Pemilihan Raya (Pemira) tahun 1997 sekita bulan April-Mei, Rama pun maju sebagai kandidat bersaing dengan Fitra Arsil dari Fakultas Hukum. Sejak tahun 1995 aku kuliah di UI, mungkin inilah Pemira yang paling hambar, karena kedua calon berasal dari “partai” yang sama, yaitu gerakan tarbiyah. Tahun 1996, Pemira UI memunculkan tiga calon, Selamat Nurdin (FISIP, tarbiyah), Subuh Prabowo (FISIP) dan Budi Septriyono/ Busept (Teknik). Subuh banyak didukung anak-anak ekstra-universitas seperti HMI dan PMII.

Hasil Pemira UI 1997 pun menghantarkan Rama meraih kursi ketua SMUI. Di bulan november 1997, aku sebagai ketua departemen pendidikan SM FSUI mengadakan acara diskusi gerakan mahasiswa yang menghadirkan Hariman Siregar. Rama juga aku undang, tapi ternyata dia batal datang, padahal beberapa hari sebelumnya dia sudah oke mau datang.

Pada bulan April 1998, ketika SMFSUI mengadakan LDMK (Latihan Dasar Manajemen Kemahasiswaan), aku mengundang Rama sekali lagi untuk jadi pembicara, dipanel dengan Ikravany Hilman (FISIP 92, sekarang aktif di P2D) dan Indra Jaya Piliang (Sejarah 91, sekarang peneliti CSIS). Walau sedikit telat, Rama hadir juga dan forum tersebut menjadi forum langka yang mempertemukan dua figur aktivis mahasiswa yang mewakili dua kekuatan besar gerakan mahasiswa UI 1998. Rama sebagai ketua SMUI yang dalam setiap aksinya didukung oleh senat mahasiswa FK, FKG, FMIPA, FPsi, FH, Poltek dan FKM. Sementara Ikra adalah salah seorang Presidium KA KBUI (Kesatuan Aksi Keluarga Besar UI) yang didukung oleh senat mahasiswa Fakultas Sastra, FISIP, Ekonomi, Teknik dan kadang-kadang Hukum (Ketua senat mahasiswa fakultas Hukum saat itu adalah Topek, anak Buya Ismail Hassan Metareum, ketua umum PPP saat itu).


Semua mahasiswa UI tahun 1998 mafhum, bahwa SMUI dan 7 senat fakultas pendukungnya berwarna “hijau” gerakan tarbiyah. Sementara, KA KBUI dengan 4 senat fakultas pendukungnya adalah non tarbiyah dan berwarna pelangi. Ketua SM FSUI, Dede Suryadi adalah anggota HMI yang asli NU Tasikmalaya. Ketua SM FISIP UI Pak Cik (saya lupa nama aslinya) didukung anak-anak mahasiswa “kiri” di FISIP. Ketua SM FTUI adalah Yudi Yudewo, alumnus SMA Taruna Nusantara Magelang. Ketua SM FEUI adalah Muhammad Dian Revindo, anak gaul FE yang “awam” politik tapi cukup oke kalau orasi.

Walhasil, karena aku berada di jajaran presidium KA KBUI, maka aku tak pernah rapat bareng Rama. Sejak gerakan mahasiswa UI terpecah dua di awal Januari 1998, Rama adalah kawan yang berada di “seberang” sana. Impianku untuk mempersatukan SMUI dan KA KBUI hanya terwujud di forum LDMK tersebut. Tapi mungkin, Rama kini sudah bisa tersenyum kalau dia main ke UI sekarang, karena UI sudah tidak terpecah seperti 1998 dulu. Kini UI hanya satu warna, “ijo royo-royo”.

Anit Gus Dur dan Yasiin

Mungkin inilah salah satu kelemahanku. Tak terlalu peduli tentang latar belakang seseorang, anak seorang tokoh atau orang biasa. Di Posko Sastra, ada seorang teman bernama Anit, ya aku hanya kenal dia Anit. Tugasnya di Posko biasanya menyiapkan perlengkapan logistik seperti obat-obatan dan makanan kecil untuk peserta aksi.

Suatu hari, di malam Jumat sekitar jam 8 malam, Anit menghampiriku dan berkata, “Fan, bawa Qur’an gak?”. “Bawa, tapi Qur’an kecil”, jawabku. “Gak apa-apa deh, gue pinjem ya”, kata Anit. Ia pun membawa Qur’anku, terus masuk ke dalam musholla pria yang terletak persis samping kantor senat mahasiswa di Gedung II Fakultas Sastra UI.

Aku lirik, ia sudah mengenakan mukena, shalat dan kemudian mengaji. Sayup-sayup aku dengar ia mengaji surat Yasiin. Wah, jarang-jarang ada anak UI yang malam Jumat yasinan, maklum mahasiswa muslim di UI umumnya anak tarbiyah yang tidak punya tradisi yasinan yang khas dilakukan warga muslim tradisional di kampung-kampung. Jangan-jangan si Anit NU nih, dugaanku. Tapi, di zaman seperti itu, aku tak berpikir sektarian, Islam atau non muslim, NU atau tarbiyah, yang penting mau ikut berjuang dalam gerakan reformasi.

Dugaanku pun benar. Tak lama berselang, sesudah Soeharto mundur, barulah aku ngeh bahwa Anit itu putrinya Gus Dur, biangnya NU.